Mgr. Albertus Soegijapranata SJ
| |
Soegijapranata, pada tahun 1960 | |
Keuskupan Agung
|
Semarang
|
Provinsi
|
Semarang
|
Metropolis
|
Semarang
|
Ditunjuk
|
1 Agustus 1940
|
Kekuasaan berakhir
|
22 Juli 1963
|
Pendahulu
|
Tidak ada
|
Penerus
|
Justinus Darmojuwono
|
Penugasan
| |
Penahbisan
|
15 Agustus 1931
oleh Laurentius Schrijnen |
Konsekrasi
|
6 Oktober 1940
oleh Petrus Willekens |
Data diri
| |
Nama lahir
|
Soegija
|
Lahir
|
25 November 1896
Surakarta, Hindia-Belanda |
Meninggal dunia
|
22 Juli 1963 (umur 66)
Steyl, Belanda |
Dimakamkan
|
Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal
|
Kewarganegaraan
|
Indonesia
|
Denominasi
|
Katolik
|
Orang tua
|
|
Motto
|
100% Katolik, 100% Indonesia[1]
|
(INDONESIA)
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyapranata; lahir 25 November 1896 – meninggal 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun), lebih dikenal dengan nama lahir Soegija, merupakan Vikaris Apostolik Semarang, kemudian menjadi uskup agung. Ia merupakan uskup pribumi Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia-Belanda, dari keluarga seorang abdi dalem dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kecil, dan, karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave; ia juga menyelesaikan juniorate di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht, dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia-Belanda untuk menjadi pastor.
Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsekrasikan sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang menduduki Hindia-Belanda pada awal tahun 1942, dan selama periode pendudukan itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
Setelah Presiden Soekarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu menyelesaikan Pertempuran Lima Hari dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata pindah ke Yogyakarta. Selama revolusi nasional Soegijapranata berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode pasca-revolusi ia banyak menulis mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberapa faksi politik. Pada tanggal 3 Januari 1961 ia diangkat sebagai uskup agung, saat Tahta Suci mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapranata bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II. Ia meninggal pada tahun 1963 di Steyl, Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Ia dijadikan seorang Pahlawan Nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik pemeluk Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang ia sudah ditulis oleh berbagai penulis, dan pada tahun 2012 sebuah film biopik fiksi garapan Garin Nugroho, yang diberi judul Soegija, diluncurkan. Universitas Katolik Soegijapranata, sebuah universitas di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.
Kehidupan awal
Soegija dilahirkan pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang abdi dalem di Susuhunan Surakarta, dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim abangan, dan kakek Soegija, Soepa, seorang kyai.[2][3][4] Namanya Soegija diambil dari kata sugih dalam bahasa Jawa, yang berarti "kaya".[5] Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, Yogyakarta. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai abdi dalem di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk Sultan Hamengkubuwono VII, sementara istrinya merupakan pedagang ikan;[2] keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.[6] Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain sepak bola, dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.[7] Saat masih kecil, Soegija berpuasa bersama ayahnya, sesuai hukum Islam.[5]Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah Angka Loro di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat Pakualaman. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.[8] Di luar sekolah ia belajar gamelan dan menembang bersama orang tuanya.[2] Sekitar tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan sebuah sekolah Yesuit di Muntilan, 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.[9]
1 comments:
patut untuk di contoh
ReplyPost a Comment